Sabtu, 24 Oktober 2009

Masih Ada Hari Esok

Terlalu berat bagi Annisa menempuh perjalanan ini sendiri. Ketika dia harus berdiri, dengan kekuatannya sendiri. Sementara, di sekelilingnya banyak bayang yang hanya bisa menatap. Tanpa mau mengulurkan tangannya untuk menyambutnya. Di saat itulah dia tersadar, hanya Allah Yang Mahabesar yang bisa menolong dirinya tanpa mengharap ada uluran tangan yang belum tentu sampai menyambut tangan lemah itu. Berat memang, tapi itulah jalan yang harus dia tempuh. Tapi dia selalu percaya pada keyakinannya, Allah pasti akan selalu bersamanya. Allah tak akan pernah meninggalkan umat-Nya selama kita juga selalu bersujud pada-Nya. Menyerahkan diri kita sepenuhnya pada kekuasaan-Nya. Karena dia yakin Allah tidak akan memberikan cobaan pada umat-Nya bila kita tidak mampu menghadapinya.
Matahari hanya tinggal sepenggal sinar saja, ketika Annisa melangkahkan kaki memasuki rumah. Di sudut ruang tamu, Ayah membaca koran tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
“Sore, Ayah!” sapa Annisa, yang kemudian segera berlalu. Begitu tidak mendapatkan respon Ayah atas kehadirannya. Selalu begitu! Ayah tak pernah memperhatikan apapun yang Annisa lakukan. Dan itu membuat Annisa merasa disisihkan. Kenapa Ayah tidak bisa menyayanginya? Kenapa Ayah seakan tak pernah memperhatikannya?

“Dari mana kamu, Nisa?” suara berat Ayah menghentikan langkah Annisa.
“Dari rumah teman. Ada urusan,” jawab Annisa singkat, tanpa menjelaskan apa urusan itu. Ayah bertanya tanpa menatap gadis berjilbab itu. Kemudian, kembali pada kesibukannya membaca. Ada pedih yang mengiris di permukaan hati Annisa.
“Nisa!” Annisa menatap kakaknya, yang tiba-tiba saja muncul dari tuang tengah. Tatap matanya tajam penuh selidik. Tapi Nisa tahu, di balik tatapan tajam yang sekaligus teduh itu, ada rasa sayang yang tulus.
“Mas percaya kamu bisa menjaga dirimu sendiri,” lanjutnya. Annisa hanya tersenyum kecut, sudah berkali-kali ia mendengarkan kalimat seperti itu dari Mas Edo.
“Sudah, Mas?” tanya Annisa menggantung. Edo mengangguk dan menatap sosok adiknya, sampai menghilang di balik pintu kamarnya. Sungguh kasihan Annisa! Dia pasti merasa memanggul beban yang begitu berat di pundaknya.
Di kamarnya, Annisa menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Terasa penat sekali tubuhnya hari ini. Perlahan, matanya menatap foto di atas meja belajarnya. Senyum itu begitu ia rindukan, sosok yang begitu dekat dan nyata. Tapi seakan ia tidak bisa menggapainya. Ayah, andai saja… Ya! Andai saja ia bisa dekat dengan beliau, mungkin ia bisa bahagia sekarang. Tanpa harus merasakan kekakuan yang menyelimuti rumah ini.

“Pagi, Ayah!” sapa Annisa, begitu dia melihat Ayah sudah terlebih dulu berada di meja makan. Sebuah pertanyaan ketus, terdengar begitu Annisa duduk di kursinya.
“Dari mana kamu kemarin? Pulang sampai sore?” pertanyaan itu terasa memerahkan telinga bagi yang mendengarnya.
“Apa pantas seorang gadis berjilbab keluyuran sampai sore? Apa gunanya jilbab yang kamu pakai itu? Kalau kelakuanmu masih seperti itu?” Annisa memandang kakaknya tak berkedip. Tega sekali Mbak Ine mengatakan kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan seorang kakak pada adik kandungnya sendiri.
“Maksud Mbak Ine, saya?” Annisa menunjuk dadanya sendiri.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?” Annisa mengurungkan niatnya memegang sendok, begitu Ine kakak perempuannya itu menampakkan muka masamnya. Mbak Ine juga berjilbab. Apakah pantas mengucapkan kalimat kasar pada adiknya? Apa pantas seorang muslim seperti Mbak Ine, bersuudzan padanya? Batin Annisa perih.

“Kamu nggak punya telinga?” sentak Ine saat menyadari Annisa tetap pada diamnya.
“Ine!” sentak Edo tak suka dengan omongan Ine. Annisa segera berdiri, tapi teguran ayah membuatnya merasa enggan.
“Habiskan sarapanmu dulu, baru boleh pergi!” ucap Ayah dingin. Annisa memandang Mas Edo, begitu Edo mengangguk mengiyakan, Annisa kembali duduk. Mereka kembali makan tanpa percakapan. Beberapa menit kemudian, Annisa pamit pada Ayah dan kakaknya.
“Heh...! Langsung pulang. Jangan keluyuran, mau jadi cewek jalanan kamu?” suara ketus Ine kembali terdengar. Tapi Annisa sudah tidak mau peduli. Kalau ia terus mendengarkan kalimat-kalimat pedas kakaknya, hanya akan menambah luka yang hampir mengering di dalam hatinya. Luka yang lama tak kunjung sembuh, masih saja bertambah dengan luka yang baru.
“Ine!” sentak Mas Edo lagi. Tanpa menggubrisnya, Annisa segera pergi. Mengingat kekakuan keluarganya selama ini, Annisa hanya bisa menyesalkannya. Tapi rasanya, sesal juga tak kan pernah berguna. Hampir 17 tahun usianya, tapi selama kurun waktu yang terbilang lama itu, tak pernah ia merasakan hangatnya suasana kekeluargaan. Ia punya Ayah, Mas Edo, dan Mbak Ine. Tapi hanya mas Edo yang mau mengerti dirinya, mengerti akan kesepian hatinya, mengerti akan luka hatinya. Hanya Mas Edo yang terus menguatkan dirinya, memberinya nasehat agar lebih mendekatkan diri pada Allah. Karena kedekatan pada Allah akan menentramkan hati kita. Tak ada yang tahu, kalau setiap malam Annisa selalu bersujud, memohon pada Allah agar beban ini cepat berlalu dari kehidupannya. Memohon agar ketentraman keluarganya segera utuh dan mendapatkan ridho-Nya. Dan Annisa berharap, saat bahagia itu segera tiba. Allah pasti mendengar harapannya!

“Nesi… kamu melamun lagi?”sebuah suara mengagetkan Annisa yang masih dalam lautan pikirannya. Ia hanya tersenyum kecut, menyadari Novi sudah berada di sampingnya.
“Nesi!” goda Novi lagi. Membuat Annisa melebarkan matanya.
“Kapan, sih? Kamu mau panggil namaku dengan benar? Namaku Annisa, Annisa Nur Jannah Bachtiar, bukannya Nesi. Memangnya kucing kamu?” sewot Annisa, tapi hanya berupa gurauan. Ia takkan pernah bisa marah pada sahabat dekatnya itu. Novi hanya nyengir kuda.
“Hei, ini kantin, Non! Tempatnya orang makan, bukannya melamun. Ngapain, sih? Berantem lagi sama Mbak Ine?” Annisa hanya menghela nafas pendek. Dia sendiri tidak tahu, kenapa Mbak Ine selalu sewot padanya. Padahal, Annisa adalah adiknya satu Ibu.
“Mungkin kamu nyakitin hatinya, ya? Atau… kamu selalu membantah kata-katanya?” Annisa menggeleng perlahan. Perasaan, dia nggak pernah menyakiti hati Mbak Ine. Dia selalu diam, kalau Mbak Ine mulai sewot padanya.
“Kalau Mas Edomu yang cakep itu?”
“Kalau dia baik. Walaupun lahir dari Ibu yang berbeda, Mas Edo nggak pernah menyakiti hatiku. Dia baik dan sayang padaku,” jelas Annisa. Untung aku bukan kamu Nesi. Kalau aku yang berada di posisimu saat ini, mungkin aku nggak akan tahan punya Ayah dan Kakak, yang sikapnya dingin sekali batin Novi dalam hati.
“Kenapa kamu nggak lari saja dari rumah?” usul Novi. Annisa tertawa spontan.
“Gila kamu. Mau lari kemana? Aku nggak punya siapa-siapa lagi, selain Ayah dan kakak-kakakku.”
“Sorry Nes, aku nggak…...” Novi menggantungkan kalimat yang akan diucapkannya.
“Aku tahu niat kamu baik Nov, tapi idemu itu gila, tahu?” ujar Annisa dengan tawanya.
“Sudahlah, kamu nggak usah ikut mikirin masalahku ini. Bisa meledak otakmu!” celetuk Annisa yang terdengar miris. Kasihan sekali…..

Sore itu, Annisa sengaja menghampiri Ayah yang sedang duduk santai di taman, ditemani kicau burung peliharaan beliau. Jujur, belum pernah sekalipun Annisa mencoba mendekati Ayah dan bicara dari hati ke hati. Sikap kaku Ayah, yang membuatnya enggan melakukan semua itu.
“Sore, Ayah!” sapa Annisa lembut. Dia memberanikan dirinya duduk di kursi kosong di samping Ayah.
“Ayah. Nisa ingin tahu sesuatu tentang….” Annisa merasakan kerongkongannya terasa kelu. Kata-kata yang telah disiapkannya tadi seakan menguap entah terbang kemana. Dan kalimat itu kini benar-benar menggantung.
“Tentang Ibu,” lanjutnya. Dan kata-kata itu, mampu membuat Ayah menoleh ke arahnya.
“Ayah, Nisa sudah 17 Tahun. Nisa ingin mengetahui cerita tentang Ibu, mengenal beliau, walau dari cerita. Ayah mau kan bercerita?” pinta Annisa mengharap. Ayah memandang putrinya dengan tatapan tajam. Yang dirasakan Nisa lebih tajam dari pada pedang. Setelah menunggu beberapa saat, tanpa ada jawaban. Annisa bermaksud meninggalkan ayahnya.
“Nisa!” suara berat Ayah benar-benar menghentikan langkahnya. Annisa membalikkan badannya dan kembali mendekat. Sepintas, dilihatnya ada mendung bergayut di wajah sang Ayah yang selama ini dilihatnya begitu dingin.
“Kamu masih menginginkan cerita tentang ibumu?” tanya Ayah tanpa memandang Nisa. Dengan cepat Annisa mengangguk, tapi cepat ia sadar kalau lelaki setengah abad itu tidak sedang memandangnya. Annisa kembali duduk begitu dilihatnya Ayah memulai ceritanya. Kata Ayah, Ibu wanita yang cantik, anggun. Ayah merasa sungguh beruntung memilikinya. Ibu mau mencintai Edo seperti anaknya sendiri. Kasihnya pada Edo dan Ine tiada beda, tiada istilah anak kandung ataupun anak tiri.
Sejenak Ayah menghentikan ceritanya. Dihelanya nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Ayah dan Ibu bertemu, dua tahun setelah kematian ibunya Mas Edo. Annisa menyentuh lengan ayahnya, begitu melihat ada kesedihan terpancar di mata yang kelam itu. Betapa saat itu Annisa ingin memberikan kekuatan pada ayahnya. Dengan terbata-bata, Ayah kembali bercerita. Betapa ibu sangat bahagia, ketika Nisa berada dalam kandungannya. Walaupun sebenarnya rawan bagi Ibu untuk melahirkan. Namun, Ibu tetap mempertahankan Nisa. Walaupun dokter menyarankan untuk digugurkan, mengingat jantung ibu yang lemah. Annisa melihat mata Ayah mulai membentuk butiran kristal yang mungkin dalam satu kedipan saja air di sudut mata itu membasahi pipinya.
“Hingga lahirlah kamu kamu dengan selamat, tapi ibumu harus membayarnya dengan…”

“Ayah jangan teruskan!” Nisa menitikkan air mata yang semula ingin dibendungnya, ada rasa nyeri dalam hatinya.
“Itu sebabnya Ayah dan mbak Ine benci pada Nisa? Karena Nisa yang menjadi penyebab…” ucapan Annisa terhenti. Titik air terlihat menggenang di pelupuk mata ayah.
“Ayah tidak pernah membencimu. Tiap melihatmu, bayangan ibumu semakin nyata. Ayah tidak akan sanggup.” Perlahan Nisa menyusut air mata ayahnya dengan jemarinya. Belum pernah dilihatnya Ayah serapuh ini.
“Ayah, boleh Nisa melihat foto Ibu?” Annisa meminta dengan hati-hati. Ia tidak ingin membuka luka hati yang mendera ayahnya.
^^^
Annisa terpana ketika melihat kamar Ayah. Selama ini, ia tidak pernah berani memasuki kamar ini. Kamar yang tertata rapi penuh dengan barang-barang antik. Ayah berhenti pada sudut kamar, ada sekotak lemari tembok yang tertutup tirai biru muda dengan pernik bunga matahari. Annisa berdiri di samping ayahnya, dengan perasaan tak menentu. Perlahan, Ayah menarik tali tirai. Nisa terpana beberapa saat, dilihatnya seraut wajah nampak di sebuah foto berukuran ekstra besar.
“Kau memang mirip ibumu.” Annisa menatap foto itu tanpa berkedip. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat wajah Ibu. Itupun hanya lewat foto, ada rasa bahagia membuncah memenuhi dadanya. Saat ia tahu, kalau dirinya mewarisi kecantikan alami Ibu. Ayah mengulurkan tangannya untuk menutup tirai itu tapi Annisa mencegahnya.
“Mengapa Ayah tidak mencoba untuk tetap mengenang Ibu? Ayah tidak harus melupakan Ibu dengan menutup foto beliau seperti itu, ‘kan? Biarkan Ibu abadi di hati Ayah. Juga di rumah ini,” pinta Annisa penuh harap.
“Biar foto itu terpampang, hingga tiap saat, Ayah bisa memandangnya. Dan merasakan Ibu masih ada di antara kita. Nisa yakin, luka dan kepedihan yang ada di hati Ayah akan mengering dengan sendirinya,”
Ayah menatap Nisa dengan sinar matanya yang teduh. Ada kesejukan terasa mengaliri hatinya. Diraihnya kepala Annisa dalam dekapannya dengan segenap rasa sayang yang selama ini terabaikan.
Ine mengawasi dari balik pintu yang terkuak. Dihapusnya air yang mengalir di pipinya. Selama ini ia berbuat tidak adil pada adiknya. Dirinya selalu beranggapan Annisa lah penyebab meninggalnya Ibu. Kini ia sadar anggapan itu salah. Semua yang terjadi memang takdir Sang Pencipta. Ine berjanji pada dirinya sendiri, ia akan membagi kasihnya pada Annisa, seperti Ibu dulu membagi kasihnya untuk dirinya dan Mas Edo.


By : Muktiar Selawati

Masih Ada Hari Esok